Beranda | Artikel
Kajian Ketika Itikaf
Selasa, 1 April 2014

I’tikaf merupakan ibadah yang agung, yang semaraknya semakin terlihat di bulan Ramadhan, khususnya di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Namun, ada sedikit permasalahan mengenai i’tikaf yang hakikatnya melenceng dari ruh i’tikaf itu sendiri.

Ibnu Utsaiminzmengatakan, “Orang yang i’tikaf itu berada di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah bukan untuk menyendiri sehingga tidak berinteraksi dengan manusia, bukan pula supaya didatangi kawan-kawannya untuk ngobrol bareng namun dalam rangka agar bisa konsentrasi beribadah kepada Allah.

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa orang yang i’tikaf di masjid untuk kumpul dengan teman-teman kemudian ngobrol dengan obrolan yang tidak ada faedahnya adalah seorang yang tidak mewujudkan ruh i’tikaf karena ruh i’tikaf adalah berada di masjid dalam rangka beribadah kepada Allah. Memang benar, dibolehkan bagi orang yang i’tikaf untuk didatangi istrinya lalu ngobrol di tempat i’tikaf asalkan tidak berlebihan karena hal semacam ini pernah terjadi pada diri Nabi.

Apakah tergolong bertolak belakang dengan ruh i’tikaf, manakala orang yang i’tikaf menyibukkan diri dengan kegiatan menuntut ilmu?

Tidaklah diragukan bahwa kegiatan menuntut ilmu itu termasuk ketaatan dan ibadah kepada Allah. Akan tetapi maksud dari i’tikaf adalah menyibukkan diri dengan ibadah individual semisal shalat, dzikir dan membaca Alquran.

Tidaklah mengapa jika seorang yang i’tikaf menghadiri satu atau dua sesi kajian dalam sehari atau semalam, karena hal tersebut tidak mempengaruhi i’tikaf.

Akan tetapi jika seluruh waktu i’tikaf diisi dengan kajian, sehingga orang tersebut juga menelaah berbagai materi kajian yang diajarkan dan menghadiri banyak majelis ilmu yang hal ini tentu saja menyibukkannya dari ibadah individual yang hendak dia lakukan, maka tidaklah diragukan bahwa i’tikaf model semacam ini bukanlah i’tikaf yang sempurna meski kami tidak berani mengatakan bahwa apa yang dia lakukan bertolak belakang dengan maksud pokok i’tikaf.” (Syarh Mumti‘ jilid 6 Hal. 500-501, terbitan Dar Ibnul Jauzi, 1424 H).


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/3095-kajian-ketika-itikaf-1642.html